Setiap orang memiliki kecenderungan untuk memikirkan dirinya sendiri. butuh bukti? ketika kita melakukan sesi pemotretan bersama orang lain, siapa yang akan kita lihat terlebih dahulu? teman kita? background foto? atau diri kita sendiri? tentu, secara kompak kita akan menjawab diri kita sendiri. orang-orang menamai sifat tersebut dengan kata egois. seperti dikisahkan, berawal dari kata 'narsis' yang berasal dari mitologi Yunani yang menceritakan kisah dewa bernama Narcissus yang begitu mencintai dirinya sendiri dan bahkan hanya dirinya sendiri. cinta diri yang overdosis sehingga menyebabkan Narcissus mati tenggelam dalam rasa cintanya itu.
Diceritakan pula pada suatu hari Umar berkata "Aku mencintaimu wahai Rasulullah SAW melebihi cintaku pada semua yang lain, kecuali diriku sendiri" kemudian Rasulullah SAW menjawab "Tidak! Wahai Umar! sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri". dua kisah yang berbeda, yang satu mati karena kecintaan pada diri secara berlebihan, yang satu lagi cinta diri yang terlahir karena fitrah. meskipun pada akhirnya Rasulullah SAW tidak membenarkan hal tersebut.
Egois atau dalam kamus besar bahasa Indonesia, didefinisikan mementingkan diri sendiri. sifat tersebut merupakan sifat yang sudah Alloh titipkan terhadap pribadi-pribadi manusia. sifat egois memiliki tendensi yang negatif. sehingga Rasulullah SAW pun menegur pernyataan Umar. karena cinta pada Alloh dan RasulNya harus melebihi cinta pada apapun dan siapapun termasuk diri sendiri. namun egois justru harus dimunculkan pada setiap pribadi muslim pada saat-saat tertentu.
Jika egois memiliki pengertian mementingkan diri sendiri, dan setiap diri kita memiliki sifat tersebut. kemudian pernahkah kita sibuk memikirkan urusan atau kepentingan orang lain? semoga sepenggal kisah dari Imam Syafi'i ini dapat menyadarkan nurani kita. suatu hari Imam Syafi'i masuk kedalam masjid untuk melaksanakan sholat berjama'ah. ketika beliau memasuki masjid, beliau melihat seorang lelaki yang tengah sholat sunnah sambil menangis. dalam hati beliau terbersit "mengapa dia sholat sambil menangis di masjid yang banyak terlihat orang, tidak sholat di rumah saja?!". kemudian, beliau sholat berjama'ah bersama lelaki tersebut.
keesokan harinya, beliau mendatangi guru beliau untuk mengeluhkan suatu hal. Imam Syafi'i mengeluhkan bahwa pada hari itu beliau lupa sehingga dia tidak bisa melaksanakan qiyamul lail, padahal setiap hari beliau tidak pernah lepas dari qiyamul lail. guru beliau pun mengetahui bahwa Imam Syafi'i tidak biasanya melewatkan qiyamul lail. kemudian, guru Imam Syafi'i pun mengatakan bahwa ilmu Alloh itu agung dan mulya, ilmu Alloh tidak akan turun kepada hati seseorang yang tertutupi oleh kemaksiatan. maka setelah itu Imam Syafi'i mulai berpikir keras, kemaksiatan apa yang telah beliau perbuat sehingga beliau sampai lupa melaksanakan sholat malam? akhirnya, beliau menemukan jawaban atas pertanyaannya. bersitan hati yang sempat mengunjungi hatinya ketika sholat berjama'ah dimasjid, merupakan penyebabnya.
Ketika ada kesempatan untuk sholat berjama'ah dimasjid, Imam Syafi'i bergegas untuk meminta maaf kepada orang yang sempat beliau bicarakan dalam hatinya. sekali lagi DALAM HATINYA. setelah beliau menemuinya dan meminta maaf atas ucapan beliau terhadap lelaki tersebut, lelaki itu kemudian berkata "aku telah memaafkanmu". setelah kejadian itu, Imam Syafi'i bisa melaksanakan kembali qiyamul lail seperti biasa. bahkan Imam Bukhori yang hapal secara rinci puluhan ribu hadits baik shohih, dhoif maupun maudhu enggan membicarakan para perawi yang mensanadkan hadits dhoif dan maudhu, disebabkan kekhawatiran beliau membuka aib orang lain, padahal dalam rangka kebaikan. karena begitu sangat menjaga lisan dan hatinya dari perbuatan membicarakan orang lain.
Ternyata, dalam kondisi tersebut memikirkan urusan orang lain dapat menghalangi kita dari berbuat kebaikan dan mendapatkan ilmu Alloh, meskipun hanya terlintas dalam pikiran kita. bagaimana jadinya jika kita membicarakan urusan orang lain dengan terang-terangan? tentu ilmu Alloh enggan bersarang dihati kita bahkan sekadar berkunjungpun tidak. terlebih lagi jika kita hobi membicarakan orang lain disertai unsur-unsur aib orang lain. hati kita tentunya jika berwujud akan nampak berwarna hitam gelap.
Seringkali kita disibukkan dengan pembicaraan-pembicaraan mengenai orang lain bahkan saudara kita sendiri (baca:muslim). Alloh lah yang telah menutupi aib hamba-hambaNya di dunia. Alloh akan menutupi aib hambaNya bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat terhadap orang yang menutupi aib saudaranya. kita diperbolehkan membicarakan aib orang lain ketika kemaksiatan orang tersebut setara dengan fir'aun atau Qarun serta untuk kesaksian dalam persidangan.
Nampaklah urgensi egois dalam hidup kita. seringkali keegoisan diperlukan. egois disini bukan berarti tidak memikirkan kesulitan orang lain. bahkan kita dituntut bisa membantu orang lain dalam kebaikan. seperti yang disebutkan dalam hadits bahwa umat Islam seperti satu tubuh, jika salah satu anggota badan terluka maka anggota badan yang lain akan merasakan sakitnya. keegoisan yang dimaksud adalah tidak memikirkan urusan terutama aib orang lain, tidak membicarakan apalagi menyebarluaskannya.
Biarlah kita memikirkan ibadah diri kita sendiri, aib kita sendiri, maksiat kita sendiri. keegoisan ini pun tidak menafikan amar ma'ruf nahi mungkar. jika kita melihat kemungkaran tentu kita harus mencegahnya. namun, perlu kita cermati dalam kisah Imam Syafi'i, yang dilakukan lelaki itu bukanlah suatu kemungkaran, hanya sebuah prasangka dari Imam Syafi'i. jadi, bersitan sekecil apapun memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap amalan kita. jadilah orang yang egois dari persangkaan-persangkaan buruk terhadap orang lain dan jadilah orang yang egois terhadap aib masing-masing.
No comments:
Post a Comment