Indonesia,
sebuah negara yang sejak dahulu berstatus negara berkembang akhir-akhir ini dibawah
sorotan dunia. Ekonomi, politik, sosial menjadi bahan perbincangan media. Tidak
tanggung-tanggung, kisah romansa seorang bupati daerah Garut, turut menghiasi
berita lokal, nasional maupun internasional. Namun kita tidak akan membicarakan
hal tersebut. Kali ini kita akan
membahas tentang pesta demokrasi yang tidak lama lagi akan berlangsung.
Bagi saya kata
‘pesta demokrasi’ tidak tepat digunakan untuk menggambarkan PEMILU. Beberapa waktu
yang lalu, saya sempat menghadiri acara yang membicarakan tentang PEMILU bersih
tanpa money politic, salah seorang
pembicaranya mengatakan hal yang sama, bahwa PEMILU bukanlah sebuah ‘pesta
demokrasi’ namun PEMILU adalah kerja demokrasi. Kata ‘pesta demokrasi’ jika
ditilik secara dalam tidak memiliki outcome
yang jelas, karena ‘pesta demokrasi’ sekedar menggambarkan euforia demokrasi sesaat. Sedangkan kerja demokrasi adalah kewajiban
setiap pelaku demokrasi, dalam hal ini kaitannya tentang PEMILU yang menjadi
penentu nasib suatu negara atau wilayah.
Cerita ini
berawal dari observasi tanpa disengaja yang saya lakukan ketika melakukan
perjalanan ke beberapa daerah untuk menghadiri kegiatan. Ketika dalam
perjalanan, seringkali saya melihat seorang Bapak tua merogoh tempat sampah
dengan amat fokus dan dengan tingkat konsentrasi tinggi. Beliau hendak mencari
plastik-plastik bekas menggunakan kawat besi panjang yang di desain guna
memudahkan pemindahan plastik bekas ke kantong besar yang Beliau tanggung.
Aktivitas tersebut
sudah biasa terlihat di bahu jalan pusat kota, yang unik disini adalah sesuatu
yang beliau kenakan. Bapak tua itu nampak menggunakan baju bergambar sesosok
manusia disertai sebuah simbol bertuliskan angka. Tak lupa kalimat persuasif
berisi janji yang disablon di baju tersebut yang warnanya sudah pudar. Dapat ditebak
jika baju tersebut didapatkan Beliau saat PEMILU beberapa tahun yang lalu. Kemudian
saya berpikir tentang kemeriahan PEMILU. Atribut-atribut PEMILU menjadi hal
yang begitu lumrah dan mudah ditemui ketika masa kampanye berlangsung. Salah satunya
adalah baju yang dimanfaatkan sebagai alat serta media kampanye para calon
pemimpin untuk mengajak masyarakat berbondong-bondong memilihnya.
Baju itu seakan
berbicara melalui tulisan yang menjadi desain andalannya “pilihlah saya! maka
saya akan mensejahterakanmu, perubahan yang lebih baik akan datang padamu, keadilan
akan selalu menyertaimu, jangan pilih yang lain! cukup pilih saya!”. Begitu tegasnya
tulisan itu tergambar di baju, seolah-olah baju itu berorasi secara lantang
pada setiap mata yang memandang. Janjinya teguh tergambar.
Namun sayangnya,
model yang memperagakan baju itu tidak sesuai dengan apa yang dikenakannya
diatas catwalk kehidupan. Terlalu banyak
noda dan lubang dibaju untuk mendeskripsikan kesejahteraan, terlalu banyak keringat
yang membekas dibaju untuk menunggu perubahan dan terlalu banyak benang yang
terlepas untuk dipadu padankan dengan jas keadilan.
Jika Bapak itu
menyadari betapa tak ada satupun kalimat yang tertera pada baju yang Beliau
kenakan berpengaruh pada kehidupan Beliau saat ini, maka lebih baik menggunakan
kain yang terbuat dari karung saja seperti zaman penjajahan dahulu. Tapi apa
daya, rakyat kecil dianggap kenyang hanya dengan janji-janji tanpa realisasi. Semoga
pemimpin terpilih di masa yang akan datang dapat menjadikan baju-baju kampanye
yang dipakai rakyat sebagai pengingat ketika kinerjanya mulai menurun atau
menyimpang, bukan hanya sekedar atribut penyemarak kampanye. Wallohualam.
No comments:
Post a Comment